Dua Hati
Yuni Yusnia
Bel istirahat
telah berbunyi, dan pelajaran Matematika pun telah usai. Aku membereskan
buku-bukuku yang berantakan di atas meja ke dalam tas. “Pusing banget sih habis belajar Matematika.” Ceracau
Melani sambil mendesah frustasi. “Sebenarnya kalau kita menyimak dan berkonsentrasi
kita akan paham, Mel.” Ucapku seraya tersenyum kepadanya. Melani memang tidak
terlalu menyukai pelajaran eksak. Dia menyukai pelajaran Sosial. Cocok dengan
kepribadiannya yang hangat dan mudah bergaul. “Itu sih bagi kamu yang pintar.
Nah, bagi aku kan susah.” Dia cemberut dan mengembungkan pipinya. “Ishh udah
dong jangan cemberut terus. Nanti cantik kamu hilang loh.” Candaku, dan dia pun tertawa. “He he kamu bisa saja deh bikin mood aku baik lagi.” Ia
tersenyum sumringah. “Kita ke kantin yuk?” ucapnya dan langsung berdiri sambil menggandeng
tanganku. “Eh, lihat La. Itukan Arya.
Ihh ganteng banget sih dia.” Ucapnya
gemas saat kami telah tiba di kantin. Arya dan teman-teman cowoknya sedang
berkumpul di pojok kantin. “ Iya. Sudah yuk kita pesan makanan. Lapar nih” Ucapku setengah hati. Arya bisa
dibilang siswa paling keren di sekolah ini. Kapten basket yang juga pintar yang
menjadi idaman para siswi di sini. Mel sangat menyukainya. Sebenarnya, aku juga
tertarik padanya namun aku tidak ingin mengecewakan sahabatku. Arya pernah
menyatakan cintanya padaku, namun saat aku tahu bahwa Mel menyukai Arya, aku
langsung menolaknya. Lagipula, mengapa Arya menyukaiku? Aku hanya gadis biasa.
Banyak perempuan yang mengantre untuk dapat menjadi pacarnya, namun kenapa
harus gadis sederhana sepertiku?. Saat memesan makanan aku mengedarkan
pandangan ke sekeliling kantin dan pandanganku bertubrukan dengannya. Ia terus
memandangiku dan tersenyum kecil kearahku. Aku langsung menunduk karena malu.
Andai, Mel sahabatku tidak menyukainya pasti aku sudah menerima cintanya.
Aku sedang
membaca novel sambil mendengarkan musik menggunakan headset-ku di taman belakang sekolah. Aku menyukai tempat ini.
Sangat teduh dan nyaman, apalagi duduk di kursi taman yang diteduhi pohon Bodhi
yang rindang. “Hai. Sendirian aja.” Ucap seseorang dan aku langsung mendongak
dan bersitatap dengan Arya, aku langsung melepas headset-ku. “Boleh aku duduk?” tanyanya. “Tentu saja.” Aku langsung
menggeser tubuhku agar memberi ruang untuk Arya duduk. “Kamu suka di sini?” dia
bertanya seraya menoleh ke arahku. “Hmm.. iya.” Jawabku ragu. Hening. Tidak ada
pembicaraan lagi antara aku dan Arya. Hanya suara gemerisik dedaunan yang
saling bergesekan dan suara samar-samar siswa-siswi yang telah keluar kelas
yang mendominasi suasana. “Perasaan kamu sama aku masih sama ya seperti dulu?”
Arya mulai membuka pembicaraan. Masih,
perasaanku masih sama seperti dulu, aku menyukaimu Arya. Batinku. “Memangnya
kenapa?” aku bertanya dengan sedikit sarkastik, “Apakah tidak ada
ketertarikanmu kepadaku? Apa ini karena sahabatmu itu?” Ucapannya membuatku
sedikit bingung. “Sahabatku, maksudmu?” tanyaku. “Melani. Ia pernah
memberikanku surat cinta. Dan apa karena sahabatmu menyukaiku lalu kamu menolakku?”
Aku bingung untuk menjawab pertanyaan Arya. “Cinta itu murni dan tulus. Yang
menjalani hanya dua orang yang saling mencintai. Tidak ada tempat untuk
oranglain. Seperti kamu dan aku. Aku tahu kamu menyukaiku La, dan kamu
berpura-pura mengacuhkanku karena kamu takut menyakiti hati Melani kan?”
sambungnya, “Dia sahabatku.” Ucapku tegas. “Sahabat yang baik akan mengerti
perasaan sahabatnya. Dia akan merelakan aku untuk kamu, sahabatnya.” “Aku gak
bisa.” Ucapku lirih “Kalau begini terus, banyak hati yang tersakiti. Kamu akan
sakit hati karena kamu membohongi perasaanmu sendiri. Sementara aku tidak bisa
bersama dengan seseorang yang aku cintai. Begitupun dengan Melani. Dia akan
tersakiti karena aku tidak menyukainya.”
“Tapi aku tidak ingin menyakiti
sahabatku.”
“Walau harus kamu yang tersakiti?” Aku hanya terdiam. Tak ada
kata-kata lagi yang dapat aku katakan. Arya benar, tidak seharusnya aku
terus-menerus membohongi perasaanku. “Lala, kamu ngapain di sini sama Arya?” Mel
yang datang tiba-tiba mengejutkanku. Aku dan Arya saling bertatapan, aku
langsung berdiri dan mengapit tangan Mel. “Enggak
ngapa-ngapain kok. Udah yuk kita pulang, keburu sore. Kami duluan yah Arya.”
Aku langsung mengajak Mel pergi dan Arya hanya bisa mengangguk mengiyakan. “Kamu
kok bisa berduaan sih sama Arya?”
Tanya Mel curiga. “Aku habis bahas tugas English
Club.” Aku mengasal. “Begitu ya? Oh ya makasih yah sudah menunggu aku untuk
masuk kelas tambahan.” Mel berucap sambil tersenyum ke arahku. “Iya sama-sama.”
Aku ikut tersenyum. Aku tidak ingin persahabatan kami hancur hanya karena
seorang cowok. Aku tidak ingin menyakiti hati Mel. Aku harus melupakan Arya.
Keesokannya, Setibanya
di sekolah, Mel menghampiriku. “Bagaimana hubunganmu dengan Arya?” Ucapnya
dengan sengit. “Maksudmu?” sungguh, aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan.
“Jangan berpura-pura tidak tahu. Aku fikir kamu adalah sahabatku, La. Tapi
ternyata kau menusukku dari belakang.” Suaranya mulai bergetar. Aku tidak tega
melihatnya lemah seperti ini. Dia memberikanku foto dan langsung menghambur
pergi. Aku melihat foto tersebut dengan seksama. Dan betapa terkejutnya aku
melihat fotoku bersama Arya di taman belakang kemarin sore. Fotoku saat duduk
berdua dan tersenyum kepada Arya. Siapa yang memfotoku? Aku tidak mengerti ini.
“Mel.” Aku berteriak dan mulai mengejarnya. Aku tidak ingin Mel salah paham.
Setibanya di kelas, Mel tidak lagi duduk di sampingku. Ia duduk di samping
Siska. Entahlah, mungkin ia masih marah padaku atas kesalahpahaman ini. Namun,
kenapa harus Siska? Ia selalu bermusuhan dengan Siska. Siska pun tidak menyukai
Mel maupun aku. Karena ia merasa terganggu oleh keberadaan kami. Aku tidak
fokus pada pembelajaran saat ini. Aku masih memikirkan tentang kejadian tadi.
Apakah Mel benar-benar marah kepadaku? Sesekali aku melirik Mel yang duduk di
sebrang kursiku. Saat aku meliriknya, ia pun melirikku namun langsung membuang
muka. ia terlihat sangat kesal, khususnya kepadaku.
“Bagaimana
rasanya kehilangan sahabat terbaikmu itu?” Siska berkata kepadaku saat aku
keluar kelas karena sudah waktunya istirahat. Ia bersama Deva dan Tika, teman
dekatnya. “Aku benar-benar tidak menyangka. Orang yang selama ini terkenal
baik, ternyata – ” “Aku tidak punya urusan sama kamu Sis, lebih baik kamu
jangan mencampuri urusanku.” Ucapku memotong perkataannya. “Selama Arya masih
menyukai kamu, urusan kamu akan menjadi urusanku juga.” Ia berkata lalu mulai
berjalan sambil menyentak pundakku kencang. Aku terhuyung dan akan terjatuh
apabila Arya tidak menopang tubuhku. “Arya?” Aku langsung berdiri kembali. Aku
melihat Mel di ujung koridor sedang menyaksikan kami. Ia berbalik dan berjalan
dengan cepat. Aku hendak menyusulnya namun Arya menahan tanganku. “Lepaskan.”
Ucapku sambil berusaha melepaskan tanggannya yang menggenggam tanganku erat.
“Kenapa La? Aku ingin berbicara denganmu sebentar.” Aku menghirauan
kata-katanya dan dengan sekuat tenaga berlari mengejar Mel. Aku berkali-kali
menabrak siswa-siswi yang sedang berlalu-lalang di koridor. “Mel. tunggu.” Aku
menemukannya di taman belakang sekolah. Aku menggenggam tangannya namun ia
melepaskannya. “Mel. berikan aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya.” “Gak ada yang perlu kamu jelaskan La.”
Ucapnya. “Aku tidak ingin kamu salah paham.” “Aku gak salah paham kok.
Semuanya sudah jelas. Foto kamu sama Arya, kedekatan kamu. Semua sudah jelas.” Air
mata mulai menetes membasahi pipinya. “Aku gak
mau kehilangan kamu Mel.” Mel mulai berbalik dan ingin pergi
meninggalkanku, namun berhenti saat aku berkata, “Dulu, aku pernah menyukainya.
Ia pernah menyatakan cintanya padaku. Namun, saat aku tahu kamu menyukainya,
aku mencoba untuk tidak memberitahumu dan mencoba untuk melupakannya. Aku gak mau manyakiti hati kamu. Kamu
sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Aku gak
mau kamu marah sama aku Mel. Rasanya sakit untuk kehilangan sahabat seperti
kamu.” Air mata telah bergerumul di kelopak mataku dan membuyarkan pandanganku.
Namun, pandanganku masih cukup jelas untuk melihat kepergian Mel. Air mata itu
kini telah membanjiri pipiku.
Setelah pulang
sekolah, aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku duduk di bawah pohon Bodhi
kesukaanku. Mencoba menyegarkan fikiranku atas masalah yang sedang aku hadapi.
Pandanganku tertuju pada buku harianku. Tertulis kenanganku bersama Mel. Dan
ada beberapa fotoku bersama Mel yang sengaja aku tempel di sana. Aku mulai
menuliskan sesuatu “Layla Andita & Melani Verania” Aku teringat pada Mel.
mungkin, sekarang ia masih marah kepadaku. “Kamu sedang apa, La?”Ucap seseorang
membuyarkan lamunanku. “Arya? Kamu kenapa di sini?” Aku bertanya. “Memangnya
aku tidak boleh di sini?” Benar. Mengapa aku berbicara seperti itu padanya? “Kamu
sedang ada masalah?” Ia mulai duduk di sampingku. “Mel marah sama aku karena
aku dekat sama kamu. Dia salah paham.” Jawabku jujur. “Lalu, apa yang akan kamu
lakukan sekarang?” Tanyanya penasaran, “Menjauh darimu.” Ia terlihat sedikit
tak percaya mendengar ucapanku. “Arya, aku mohon kamu mengerti keadaan aku. Aku
gak mau Mel semakin salah paham dan benci sama aku.” Aku memohon kepadanya. “Tapi
aku sayang sama kamu, La.”
“Lupakan aku.”
“Aku gak bisa.” Ucapnya lirih. “Kamu
bisa. Kita akan mencoba untuk melupakan satu sama lain.” Aku bersikukuh
terhadap pendirianku, “Tapi, La.” “Aku mohon arya.” Kami langsung menghentikan
pembicaraan kami saat aku sadar Mel telah berdiri mengamati kami. “Mel, semua
ini tidak seperti yang kamu lihat. Aku tidak mencoba untuk merebut Arya dari
kamu.” Aku takut Mel akan semakin salah paham. “Kamu tidak perlu merasa
bersalah La. Aku sudah tahu semuanya. Siska hanya berusaha menghancurkan
persahabatan kita dengan memberiku foto itu dan maafkan aku telah mengganggu
hubungan kalian. Arya, aku memang menyukai kamu. Namun, aku tidak menuntut agar
kamu juga menyukaiku. Aku hanya berpesan tolong jaga Lala untukku.” Ia berkata
pada Arya. “mel, apa yang kamu katakan?” Aku tahu, ia masih menyukai Arya. “La,
selama ini aku yang tidak bisa menjadi sahabat baik untuk kamu. Aku tidak
pernah peka dengan perasaanmu. Mulai saat ini, aku akan mencoba untuk
melepaskan Arya untuk kamu.” Ia langsung berbalik meninggalkanku. Aku menoleh
kepada Arya dan ia mengangguk seakan mengerti maksudku. Aku langsung berjalan
menghampiri Mel. “Mel.” Ia berbalik dan aku langsung memelukknya. “Kamu sahabat
terbaik yang pernah aku milikki. Aku tidak mungkin merebut kebahagian kamu. Aku
tidak mau kehilangan kamu.” Aku berucap setulus hatiku. “Aku juga.” Aku
merasakan pundakku basah oleh air matanya. Aku pun ikut menangis, menangis
bahagia. Kini, dua hati itu telah menyatu kembali. Bukan hati Mel dan Arya,
bukan pula hatiku dan Arya. Namun, hati kami. Layla dan Melani.
Penulis : Yuni Yusnia
0 komentar:
Posting Komentar