Pages

Sabtu, 04 April 2015

Karya Sastra


Dua Hati
Yuni Yusnia

                Bel istirahat telah berbunyi, dan pelajaran Matematika pun telah usai. Aku membereskan buku-bukuku yang berantakan di atas meja ke dalam tas. “Pusing banget sih habis belajar Matematika.” Ceracau Melani sambil mendesah frustasi. “Sebenarnya kalau kita menyimak dan berkonsentrasi kita akan paham, Mel.” Ucapku seraya tersenyum kepadanya. Melani memang tidak terlalu menyukai pelajaran eksak. Dia menyukai pelajaran Sosial. Cocok dengan kepribadiannya yang hangat dan mudah bergaul. “Itu sih bagi kamu yang pintar. Nah, bagi aku kan susah.” Dia cemberut dan mengembungkan pipinya. “Ishh udah dong jangan cemberut terus. Nanti cantik kamu hilang loh.” Candaku, dan dia pun tertawa. “He he kamu bisa saja deh bikin mood  aku baik lagi.” Ia tersenyum sumringah. “Kita ke kantin yuk?” ucapnya dan langsung berdiri sambil menggandeng tanganku. “Eh, lihat La. Itukan Arya. Ihh ganteng banget sih dia.” Ucapnya gemas saat kami telah tiba di kantin. Arya dan teman-teman cowoknya sedang berkumpul di pojok kantin. “ Iya. Sudah yuk kita pesan makanan. Lapar nih” Ucapku setengah hati. Arya bisa dibilang siswa paling keren di sekolah ini. Kapten basket yang juga pintar yang menjadi idaman para siswi di sini. Mel sangat menyukainya. Sebenarnya, aku juga tertarik padanya namun aku tidak ingin mengecewakan sahabatku. Arya pernah menyatakan cintanya padaku, namun saat aku tahu bahwa Mel menyukai Arya, aku langsung menolaknya. Lagipula, mengapa Arya menyukaiku? Aku hanya gadis biasa. Banyak perempuan yang mengantre untuk dapat menjadi pacarnya, namun kenapa harus gadis sederhana sepertiku?. Saat memesan makanan aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kantin dan pandanganku bertubrukan dengannya. Ia terus memandangiku dan tersenyum kecil kearahku. Aku langsung menunduk karena malu. Andai, Mel sahabatku tidak menyukainya pasti aku sudah menerima cintanya.

                Aku sedang membaca novel sambil mendengarkan musik menggunakan headset-ku di taman belakang sekolah. Aku menyukai tempat ini. Sangat teduh dan nyaman, apalagi duduk di kursi taman yang diteduhi pohon Bodhi yang rindang. “Hai. Sendirian aja.” Ucap seseorang dan aku langsung mendongak dan bersitatap dengan Arya, aku langsung melepas headset-ku. “Boleh aku duduk?” tanyanya. “Tentu saja.” Aku langsung menggeser tubuhku agar memberi ruang untuk Arya duduk. “Kamu suka di sini?” dia bertanya seraya menoleh ke arahku. “Hmm.. iya.” Jawabku ragu. Hening. Tidak ada pembicaraan lagi antara aku dan Arya. Hanya suara gemerisik dedaunan yang saling bergesekan dan suara samar-samar siswa-siswi yang telah keluar kelas yang mendominasi suasana. “Perasaan kamu sama aku masih sama ya seperti dulu?” Arya mulai membuka pembicaraan. Masih, perasaanku masih sama seperti dulu, aku menyukaimu Arya. Batinku. “Memangnya kenapa?” aku bertanya dengan sedikit sarkastik, “Apakah tidak ada ketertarikanmu kepadaku? Apa ini karena sahabatmu itu?” Ucapannya membuatku sedikit bingung. “Sahabatku, maksudmu?” tanyaku. “Melani. Ia pernah memberikanku surat cinta. Dan apa karena sahabatmu menyukaiku lalu kamu menolakku?” Aku bingung untuk menjawab pertanyaan Arya. “Cinta itu murni dan tulus. Yang menjalani hanya dua orang yang saling mencintai. Tidak ada tempat untuk oranglain. Seperti kamu dan aku. Aku tahu kamu menyukaiku La, dan kamu berpura-pura mengacuhkanku karena kamu takut menyakiti hati Melani kan?” sambungnya, “Dia sahabatku.” Ucapku tegas. “Sahabat yang baik akan mengerti perasaan sahabatnya. Dia akan merelakan aku untuk kamu, sahabatnya.”  “Aku gak bisa.” Ucapku lirih “Kalau begini terus, banyak hati yang tersakiti. Kamu akan sakit hati karena kamu membohongi perasaanmu sendiri. Sementara aku tidak bisa bersama dengan seseorang yang aku cintai. Begitupun dengan Melani. Dia akan tersakiti karena aku tidak menyukainya.”
 “Tapi aku tidak ingin menyakiti sahabatku.”
“Walau harus kamu yang tersakiti?” Aku hanya terdiam. Tak ada kata-kata lagi yang dapat aku katakan. Arya benar, tidak seharusnya aku terus-menerus membohongi perasaanku. “Lala, kamu ngapain di sini sama Arya?” Mel yang datang tiba-tiba mengejutkanku. Aku dan Arya saling bertatapan, aku langsung berdiri dan mengapit tangan Mel. “Enggak ngapa-ngapain kok. Udah yuk kita pulang, keburu sore. Kami duluan yah Arya.” Aku langsung mengajak Mel pergi dan Arya hanya bisa mengangguk mengiyakan. “Kamu kok bisa berduaan sih sama Arya?” Tanya Mel curiga. “Aku habis bahas tugas English Club.” Aku mengasal. “Begitu ya? Oh ya makasih yah sudah menunggu aku untuk masuk kelas tambahan.” Mel berucap sambil tersenyum ke arahku. “Iya sama-sama.” Aku ikut tersenyum. Aku tidak ingin persahabatan kami hancur hanya karena seorang cowok. Aku tidak ingin menyakiti hati Mel. Aku harus melupakan Arya.

                Keesokannya, Setibanya di sekolah, Mel menghampiriku. “Bagaimana hubunganmu dengan Arya?” Ucapnya dengan sengit. “Maksudmu?” sungguh, aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan. “Jangan berpura-pura tidak tahu. Aku fikir kamu adalah sahabatku, La. Tapi ternyata kau menusukku dari belakang.” Suaranya mulai bergetar. Aku tidak tega melihatnya lemah seperti ini. Dia memberikanku foto dan langsung menghambur pergi. Aku melihat foto tersebut dengan seksama. Dan betapa terkejutnya aku melihat fotoku bersama Arya di taman belakang kemarin sore. Fotoku saat duduk berdua dan tersenyum kepada Arya. Siapa yang memfotoku? Aku tidak mengerti ini. “Mel.” Aku berteriak dan mulai mengejarnya. Aku tidak ingin Mel salah paham. Setibanya di kelas, Mel tidak lagi duduk di sampingku. Ia duduk di samping Siska. Entahlah, mungkin ia masih marah padaku atas kesalahpahaman ini. Namun, kenapa harus Siska? Ia selalu bermusuhan dengan Siska. Siska pun tidak menyukai Mel maupun aku. Karena ia merasa terganggu oleh keberadaan kami. Aku tidak fokus pada pembelajaran saat ini. Aku masih memikirkan tentang kejadian tadi. Apakah Mel benar-benar marah kepadaku? Sesekali aku melirik Mel yang duduk di sebrang kursiku. Saat aku meliriknya, ia pun melirikku namun langsung membuang muka. ia terlihat sangat kesal, khususnya kepadaku.

                “Bagaimana rasanya kehilangan sahabat terbaikmu itu?” Siska berkata kepadaku saat aku keluar kelas karena sudah waktunya istirahat. Ia bersama Deva dan Tika, teman dekatnya. “Aku benar-benar tidak menyangka. Orang yang selama ini terkenal baik, ternyata – ” “Aku tidak punya urusan sama kamu Sis, lebih baik kamu jangan mencampuri urusanku.” Ucapku memotong perkataannya. “Selama Arya masih menyukai kamu, urusan kamu akan menjadi urusanku juga.” Ia berkata lalu mulai berjalan sambil menyentak pundakku kencang. Aku terhuyung dan akan terjatuh apabila Arya tidak menopang tubuhku. “Arya?” Aku langsung berdiri kembali. Aku melihat Mel di ujung koridor sedang menyaksikan kami. Ia berbalik dan berjalan dengan cepat. Aku hendak menyusulnya namun Arya menahan tanganku. “Lepaskan.” Ucapku sambil berusaha melepaskan tanggannya yang menggenggam tanganku erat. “Kenapa La? Aku ingin berbicara denganmu sebentar.” Aku menghirauan kata-katanya dan dengan sekuat tenaga berlari mengejar Mel. Aku berkali-kali menabrak siswa-siswi yang sedang berlalu-lalang di koridor. “Mel. tunggu.” Aku menemukannya di taman belakang sekolah. Aku menggenggam tangannya namun ia melepaskannya. “Mel. berikan aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya.” “Gak ada yang perlu kamu jelaskan La.” Ucapnya. “Aku tidak ingin kamu salah paham.” “Aku gak salah paham kok. Semuanya sudah jelas. Foto kamu sama Arya, kedekatan kamu. Semua sudah jelas.” Air mata mulai menetes membasahi pipinya. “Aku gak mau kehilangan kamu Mel.” Mel mulai berbalik dan ingin pergi meninggalkanku, namun berhenti saat aku berkata, “Dulu, aku pernah menyukainya. Ia pernah menyatakan cintanya padaku. Namun, saat aku tahu kamu menyukainya, aku mencoba untuk tidak memberitahumu dan mencoba untuk melupakannya. Aku gak mau manyakiti hati kamu. Kamu sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Aku gak mau kamu marah sama aku Mel. Rasanya sakit untuk kehilangan sahabat seperti kamu.” Air mata telah bergerumul di kelopak mataku dan membuyarkan pandanganku. Namun, pandanganku masih cukup jelas untuk melihat kepergian Mel. Air mata itu kini telah membanjiri pipiku.

                Setelah pulang sekolah, aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku duduk di bawah pohon Bodhi kesukaanku. Mencoba menyegarkan fikiranku atas masalah yang sedang aku hadapi. Pandanganku tertuju pada buku harianku. Tertulis kenanganku bersama Mel. Dan ada beberapa fotoku bersama Mel yang sengaja aku tempel di sana. Aku mulai menuliskan sesuatu “Layla Andita & Melani Verania” Aku teringat pada Mel. mungkin, sekarang ia masih marah kepadaku. “Kamu sedang apa, La?”Ucap seseorang membuyarkan lamunanku. “Arya? Kamu kenapa di sini?” Aku bertanya. “Memangnya aku tidak boleh di sini?” Benar. Mengapa aku berbicara seperti itu padanya? “Kamu sedang ada masalah?” Ia mulai duduk di sampingku. “Mel marah sama aku karena aku dekat sama kamu. Dia salah paham.” Jawabku jujur. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?” Tanyanya penasaran, “Menjauh darimu.” Ia terlihat sedikit tak percaya mendengar ucapanku. “Arya, aku mohon kamu mengerti keadaan aku. Aku gak mau Mel semakin salah paham dan benci sama aku.” Aku memohon kepadanya. “Tapi aku sayang sama kamu, La.”
“Lupakan aku.”
 “Aku gak bisa.” Ucapnya lirih. “Kamu bisa. Kita akan mencoba untuk melupakan satu sama lain.” Aku bersikukuh terhadap pendirianku, “Tapi, La.” “Aku mohon arya.” Kami langsung menghentikan pembicaraan kami saat aku sadar Mel telah berdiri mengamati kami. “Mel, semua ini tidak seperti yang kamu lihat. Aku tidak mencoba untuk merebut Arya dari kamu.” Aku takut Mel akan semakin salah paham. “Kamu tidak perlu merasa bersalah La. Aku sudah tahu semuanya. Siska hanya berusaha menghancurkan persahabatan kita dengan memberiku foto itu dan maafkan aku telah mengganggu hubungan kalian. Arya, aku memang menyukai kamu. Namun, aku tidak menuntut agar kamu juga menyukaiku. Aku hanya berpesan tolong jaga Lala untukku.” Ia berkata pada Arya. “mel, apa yang kamu katakan?” Aku tahu, ia masih menyukai Arya. “La, selama ini aku yang tidak bisa menjadi sahabat baik untuk kamu. Aku tidak pernah peka dengan perasaanmu. Mulai saat ini, aku akan mencoba untuk melepaskan Arya untuk kamu.” Ia langsung berbalik meninggalkanku. Aku menoleh kepada Arya dan ia mengangguk seakan mengerti maksudku. Aku langsung berjalan menghampiri Mel. “Mel.” Ia berbalik dan aku langsung memelukknya. “Kamu sahabat terbaik yang pernah aku milikki. Aku tidak mungkin merebut kebahagian kamu. Aku tidak mau kehilangan kamu.” Aku berucap setulus hatiku. “Aku juga.” Aku merasakan pundakku basah oleh air matanya. Aku pun ikut menangis, menangis bahagia. Kini, dua hati itu telah menyatu kembali. Bukan hati Mel dan Arya, bukan pula hatiku dan Arya. Namun, hati kami. Layla dan Melani.



Penulis : Yuni Yusnia


0 komentar:

Posting Komentar